Kamis, 27 Januari 2011

Puteri Hawa=Lucy Pevensie?


Hari Senin pagi itu Claire menyusuri koridor sekolah dengan senyum cerah menghiasi wajahnya, makin menambah kecantikannya baik dari luar maupun dalam. Jalannya kelihatan ringan sampai-sampai Claire terlihat sedang melayang, dan membuat laki-laki yang ada di sekitarnya terpana, meskipun Claire tidak menyadari hal itu. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah memberitahu Renata apa yang dialaminya tadi malam.

Claire sampai di kelasnya dan menaruh tasnya di samping Renata sambil tersenyum padanya.

“Apakah kau berangkat jalan kaki?” tanya Renata.

“Ya.” jawab Claire. “Kau sudah mengetahui bahwa kemarin aku membeli novel,”

“Kau tidak lelah?” tanya Renata.

Claire menggeleng cepat, kemudian melihat wajah Renata yang cemberut, “Hei, Re… Kenapa mukamu lelah? Pagi ini indah? Tersenyumlah seperti matahari yang cerah…”

“Kau kenapa, Claire? Kuharap kau tidak gila,” kata Renata.

Claire masih tersenyum.

“Claire… aku tidak bercanda. Kau kenapa? Sms-mu kemarin aneh sekali, dan sekarang kau menjadi seperti ini,” tanya Renata khawatir temannya ini menjadi benar-benar gila.

“Memangnya ada apa denganku, Lady?” tanya Claire.

“Wajahmu sangat riang, seperti tidak merasakan lelahnya berjalan kaki dari rumahmu ke sekolah. Dan sms-mu kemarin sangat aneh,” jawab Renata.

“Berjalan lima kilometer tidak jauh, dan sms-ku memang seperti itu, Lady,” balas Claire.

Renata semakin kesal, “Oh, cukup! Jangan bercanda, Claire. Dari mana kau bisa menyebut wanita dengan sebutan lady? Apa yang terjadi denganmu?”

“Baiklah, aku jawab,” kata Claire tersenyum. “Re… tadi malam… aku… ke… Narnia!!”

“Claire…” Renata semakin cemas.

Tapi Claire malah menambah ceritanya, “Aku bertemu Aslan di sana dan dia berjanji akan memanggilku kembali nanti. Tapi sayang sekali, aku tidak tahu kapan aku dipanggil lagi oleh Aslan. Oh, Re! Bukankah itu menyenangkan? Aku pergi ke Narnia! Di sana aku melihat faun sedang menari-nari mengelilingi api unggun. Apakah kau ingat pada ucapan Mr. Tumnus bahwa bangsa faun menari-nari mengelilingi api unggun pada musim panas? Kurasa di Narnia sedang musim panas sekarang,”

Renata mencoba lembut, “Claire… kenapa kau mengkhayal seperti anak kecil? Apa tidak ada khayalan yang lebih dewasa sedikit? Kita sudah lima belas tahun!”

Claire menatap Renata seperti anak kecil yang lugu.

“Kapan dewasanya?” Renata khawatir.

Mendengar itu, spontan Claire tersenyum lebar, “Oh, Renata! Kau mengambil dialog sewaktu Peter dan Edmund bertengkar? Ternyata kau juga menonton bagian itu, kukira kau sudah tidur!”

“Hentikan, Claire! Sampai kapan kau ingin berkhayal tentang Narnia-mu itu? Kau terlalu lugu untuk berbohong, apakah kau pikir kau bisa membohongi aku? Jawabannya adalah tidak!! Kau tidak berbakat akting sama sekali!” bentak Renata.

Claire sangat kaget dengan ucapan Renata tadi sampai tidak bisa berkata apa-apa.

“Jangan pikir kau Lucy Pevensie yang benar-benar pergi ke Narnia! Kau tetap saja Claire Whitney, seorang gadis berusia lima belas tahun dari Inggris dan tidak akan pernah bisa ke negeri Narnia!” Renata melanjutkan keluhannya.

“Re… aku pikir kau temanku,” kata Claire.

“Aku memang temanmu. Tapi jika kau tetap saja mengkhayal tentang Narnia, maka aku bukan temanmu lagi,” balas Renata. “Sadarlah, Claire. Itu hanya film fantasi, Narnia hanyalah khayalan, dan aku tidak akan bisa percaya padamu begitu saja tanpa alasan yang tidak masuk akal,”

“Aku… aku… maafkan aku. Aku memang tidak bisa mengkhayal sesuatu yang lebih masuk akal,” Claire menggigit bibirnya dan mulai menangis karena sakit hati oleh ucapan Renata, tapi tindakan ini dirasa Renata karena Claire menyesal. “Aku rasa aku tidak akan pernah bias menjadi Julia Roberts,”

“Oh, Claire!” Renata merangkul Claire. “Sudahlah. Ini sudah berakhir, semoga persahabatan kita tidak renggang lagi, asalkan kau tidak mengkhayalkan sesuatu yang aneh lagi. Err, oh ya. Aku yakin suatu saat nanti kau akan sama seperti Julia Roberts,”

Claire semakin menangis karena sakit hati… ada, Re… negeri itu sungguh ada. Sikapmu tadi sungguh menyebalkan seperti Peter dan Susan. Aku benar-benar seperti Lucy Pevensie sekarang… Dan kurasa, aku berbakat akting menangis dengan mengatakan aku berbohong.

Kedatangan awal Puteri Hawa


Kenapa kisah akhirnya jadi begini? Kenapa semuanya harus mati? Claire menutup novel The Chronicles of Narnia edisi The Last Battle dengan kesal. Claire sedikit kecewa pada akhir dari kisah The Chronicles of Narnia! Akhir ceritanya tidak seperti yang diharapkannya! Paman Diggory, Bibi Polly, Peter, Edmund, Lucy, Eustace, dan Jill mati! Ya ampun! Apa itu tidak membuat hati Claire bergetar? Dari dulu Claire sangat kesal jika tokoh utama dari sebuah cerita akhirnya mati.

Tapi Claire benar-benar memberikan Two Thumbs Up untuk novel Narnia. Ide C. S. Lewis begitu hebat membuat negeri khayalan yang indah, dijadikan buku berseri tujuh. Bagian yang paling Claire suka di edisi The Last Battle adalah saat Aslan memberitahu Paman Diggory, Bibi Polly, Peter, Edmund, Lucy, Eustace, dan Jill telah mati. Dan di situ terdapat kalimat “bagi kita mungkin kisah ini telah berakhir, tapi bagi mereka, semua kisah mereka di dunia dan petualangan-petualangan di Narnia hanyalah sebuah sampul dan halaman saja. Dan sekarang mereka memulai Bab Satu: Kisah Agung yang belum pernah dibaca di bumi, di mana setiap bab lebih menarik dari sebelumnya”.

Ini gila! Bagi mereka semua petualangan-petualangan yang di bukukan menjadi tujuh seri bagi mereka hanyalah sebuah sampul dan halaman? C. S. Lewis memang benar-benar bisa membuat kata-kata hebat. Sudah pasti sekarang Claire memasukkan C. S. Lewis sebagai penulis favoritnya bagian pertama. Tentu saja, karena tidak ada penulis favorit Claire sebelumnya.

Claire mulai berangan-angan jika ia bisa pergi ke Narnia. Mungkin akan menyenangkan karena Narnia bukan di tanah bayang-bayang lagi, siapa tahu tidak ada perang seperti yang dialami Peter, Edmund, Susan, Lucy, Eustace, dan Jill. Bukankah di novel tertulis, “kita bisa dengan mantap menyebut mereka bahagia selama-lamanya”.

Ya… seperti kita sudah meninggal dan masuk surga. Bahagia selama-lamanya!

Aslan… dwarf… centaurus… faun… satyr… dryad… nymph… dan hewan-hewan yang bisa berbicara lainnya. Claire ingin melihatnya. Ah, andai saja bisa. Oh! Stop it!!

Kemudian Claire mulai mencoba berhenti berkhayal dan bangkit dari tempat tidurnya dan duduk di hadapan komputer yang berada tepat di samping tempat tidurnya. Claire berniat mencari data-data tentang Narnia dari internet. Semua data yang diperolehnya langsung disimpan di file computer dengan susunan yang sangat rapi.

William Moseley pemeran Peter Pevensie, wah, tampan sekali, Claire sangat menyukai William Moseley dan menetapkan si pemeran Peter ini menjadi artis idolanya. Anna Popplewell pemeran Susan Pevensie. Skandar Keynes pemeran Edmund Pevensie. Dan Georgie Henley pemeran Lucy Pevensie. Disebutkan di internet bahwa William Moseley dan Anna Popplewell digosipkan pacaran. Agak kesal juga Claire melihatnya, tapi biarlah. Memangnya Claire punya urusan apa? Mengenal William saja tidak. Atau lebih baik Pangeran William? Ah!

Mata Claire mulai lelah terlalu lama di depan komputer, Claire memutuskan untuk berhenti mencari data. Claire mematikan komputernya dan berbaring kembali di tempat tidur. Jam sebelas. Zaman sekarang belum terlalu malam untuk remaja seusianya untuk tidur, biasanya Claire menonton televisi. Tapi kali ini Claire benar-benar sangat lelah, mungkin karena tadi Claire pergi bersama Renata.

Pikiran Claire mulai melayang, terutama pada William Moseley yang dari tadi ada di pikirannya. Claire semakin masuk ke alam bawah sadar. Tapi tiba-tiba ia sadar bahwa Claire belum mengerjakan pekerjaan rumah yang akan dikumpulkan besok!

“Pekerjaanku!” teriak Claire, bangkit dari tempat tidur.

Tapi Claire tidak merasakan bahwa dia sedang berada disebuah kasur yang empuk, Claire merasa duduk di rumput yang halus yang tidak akan pernah ditemui di Inggris. Claire menerawang kesegala arah dan segera menyadari bahwa dia tidak ada di tempat tidurnya lagi.

Claire berusaha bangkit dan berdiri. Gadis itu sampai tidak bisa bicara saking kagetnya. Claire melihat faun menari-nari mengelilingi api unggun, Claire jadi teringat ucapan Mr. Tumnus di film Narnia, bahwa pada malam hari para faun biasa menari-nari mengelilingi api unggun pada musim panas.

Narnia! Claire sadar bahwa angan-angannya untuk pergi ke Narnia telah tercapai dalam waktu yang singkat ini. Tapi apakah benar? Bukankah Narnia hanyalah negeri khayalan? Apakah ini nyata?

Mata Claire kembali beralih kepada para faun yang sedang menari, kelihatannya asyik sekali. Claire ingin bergabung tapi merasa takut untuk melangkah. Tiba-tiba Claire merasakan seesuatu di belakangnya.

“Puteri Hawa…”

Suara itu sangat menggetarkan hati Claire, dia sangat tahu siapa yang ada di belakangnya saat itu. Claire sangat takut sampai-sampai dia tidak berani menoleh.

“Puteri Hawa…”

Kali ini Claire memberanikan diri untuk menoleh ke belakangnya. Dugaan Claire ternyata benar, sangat benar. Singa agung itu berada di hadapannya sekarang. Begitu agung dan besar, begitu menyeramkan, tetapi sekilas terlihat menyenangkan. Bagaimanapun yang dirasa Claire saat itu adalah lutut Claire menjadi lemas, dia terjatuh dengan sendirinya. Claire tertunduk, tidak kuat menatap singa agung itu.

“Tatap aku, Nak,”

Claire berusaha menegakkan kepalanya, rasanya berat sekali untuk menatap singa itu. Apalagi telah disebutkan di novel bahwa Aslan bukanlah singa yang jinak.

“Aku… mungkin… kau bisa beritahu aku… di mana aku sekarang?” Claire sangat tegang.

“Aku yakin kau pasti sudah tahu tanpa perlu harus aku beritahu,” jawab Aslan.

Claire semakin bergidik, “Narnia… jadi benar. Tapi ini hanya mimpi, kan?”

Aslan mendekat pada Claire, “Tentu saja tidak,”

“Katakan ‘ya’, Aslan. Kumohon,” pinta Claire.

“Aku tidak pernah dan tidak akan mau untuk berbohong, anakku” balas Aslan.

“Katakan padaku, Aslan, bahwa ini hanya mimpi! Aku membaca tujuh seri novel Narnia sebelum aku tidur, jadi sudah pasti ini hanya mimpi,” Claire menangis.

Kali ini Aslan sudah sangat dekat dengan Claire dan membelai Claire dengan surainya yang sangat lembut, “Mengapa kau menangis, anakku? Apa yang perlu ditakutkan dari semua ini?”

“Masalah,” jawab Claire perlahan. “Masalah yang selalu ada ketika darah daging Adam dan Hawa datang ke Narnia,”

“Tidak ada masalah saat ini, Claire,” balas Aslan.

Claire ingin melepaskan diri dari belaian Aslan karena kaget, tapi surai Aslan terlalu lembut sehingga Claire tidak ingin melepaskannya, “Apa maksudmu dengan ‘saat ini’? Apakah nanti masalah akan muncul? Bukankah Narnia abadi telah abadi selamanya dan tidak akan ada masalah lagi?”

Aslan melepaskan surainya dari Claire, “Kau akan tahu sendiri nanti, Claire,”

“Lalu, apa yang harus aku lakukan sekarang?” tanya Claire.

“Tidak ada,” jawab Aslan. “Hanya kembali ke tempat tidurmu dan tunggu aku memanggilmu kembali,”

“Hanya itu? Apa kau akan memanggilku lagi?” tanya Claire.

“Tentu saja,” jawab Aslan. “Bukankah kau sangat ingin pergi ke Narnia? Apa kau sudah berubah pikiran setelah melihat Narnia aslinya?”

“Oh, Aslan,” kata Claire. “Tentu saja tidak. Aku sangat senang kau akan memanggilku kembali,”

Aslan mengibakkan surainya, “Sekarang aku akan mengembalikanmu, tapi ingat nanti kau akan…”

Claire memotong perkataan Aslan, “Tunggu, Aslan,”

“Ada apa, anakku?”

“Apakah itu istana Cair Paravel?” Claire menunjuk istana diantara dua bukit sebelah Timur.

“Benar. Nanti di sana kau akan bertemu orang-orang yang ingin kau jumpai di Narnia,” jawab Aslan.

Senyum Claire makin mengembang, “Sungguh? Apakah yang kau maksud mereka adalah…”

“Benar. Orang-orang yang bisa pergi ke Narnia dulu, dan juga para Raja dan Ratu Narnia,” balas Aslan.

Claire tersentak senang, “Semuanya? Aku bisa bertemu dengan semua Raja dan Ratu Narnia?”

“Maafkan aku, puteri Hawa. Tapi tidak semua yang ingin kau lihat di sana ada. Mereka sebagian besar adalah para pahlawan pembebasan Narnia,” jawab Aslan.

Claire mengangguk-angguk tapi agak sedikit kecewa, “Baiklah. Aku selalu menunggu kau memanggilku lagi,”

Sesaat kemudian Claire merasa didorong oleh kekuatan yang sangat kuat. Kemudian Claire merasa kembali berada di kasurnya. Claire membuka matanya, semuanya normal. Pandangan Claire beralih pada jam. Masih jam sebelas, tidak ada perubahan waktu. Waw, ini hebat sekali! Claire benar-benar pergi ke Narnia! Jelas sudah terbukti negeri itu adalah negeri khayalan yang nyata. Sesaat ia lupa pada pekerjaan rumahnya.

Tiba-tiba ada sms dari Renata, kalau Renata sms, pasti tulisannya seperti telegram.


Besok kembalikan bukuku,,..


Claire membalasnya.


Lady, jangan khawatir. Demi surai singa aku tidak akan lupa. Aku ingin cepat bertemu dengan Lady besok, pasti akan sangat menyenangkan.


Sementara di rumah Renata, dia sangat bingung dengan balasan sms Claire. Ada apa dengan Claire? Mengapa dengan bersumpah atas surai singa? Sejak kapan dia memanggil seorang perempuan dengan sebutan ‘Lady’?

Perkenalan Narnia pada Putri Hawa


Kita tidak akan pergi dari Inggris, dimana dahulu sekitar tahun 1942 ada beberapa orang-orang yang berhasil pergi ke negeri khayalan kita yang indah, Narnia. Mereka adalah Paman Diggory, Bibi Polly, Peter, Edmund, Susan, Lucy, Eustace, dan Jill. Tentu saja jika kalian sudah membaca tujuh seri novel Narnia atau paling tidak ringkasan ceritanya, kalian akan mengerti bahwa Narnia sudah berakhir dan kini sudah lepas dari tanah bayang-bayang, dan Paman Diggory, Bibi Polly, Peter, Edmund, Lucy dan Jill sudah tinggal di sana selamanya karena di negeri kita mereka sudah mati. Sama seperti dunia kita pada saat dunia berakhir (kiamat), dan kita di alam lain. Abadi.
 Namun, meskipun Narnia sudah lepas dari tanah bayang-bayang dan telah menjadi Narnia seutuhnya, masih ada kisah yang menarik dan mungkin C. S. Lewis lupa untuk menulisnya. Kisah terakhir Narnia.

Kali ini kita akan pergi jauh dari kota Finchley untuk mengetahui kisah anak yang berhasil pergi ke Narnia, yaitu kota Bristol. Anak ini hidup di masa kini. Tetapi lebih tepatnya kisah ini ada pada setengah bulan lebih di tahun 2005 pada saat film The Chronicles of Narnia ‘The Lion, the Witch, and the Wardrobe’.

Claire Whitney, nama anak itu yang kira-kira baru berusia lima belas tahun, kira-kira sama dengan umur Raja Agung Peter ketika pertama kali pergi ke Narnia dulu. Anak yang sedang menikmati masa remaja ini sedang pergi menonton film bersama temannya di bioskop, Renata Kane.

Anak yang bernama Claire ini hanya mempunyai satu keburukan, yaitu jarang sekali membaca. Baginya, buku sangat membosankan. Misalnya saja novel, ia lebih suka menonton film yang diadaptasi dari novel itu daripada membaca novelnya. Apalagi novel yang tebalnya sudah tak terkira! Claire paling malas membacanya. Tetapi anehnya, anak ini sangat pintar dalam pelajaran. Dia tidak membaca buku itu, cukup memperhatikan dan… langsung bisa mengerti pelajaran itu.

Soal penampilan, mungkin Claire termasuk perempuan yang beruntung karena mempunyai wajah yang amat cantik dan manis, dan berambut panjang berwarna pirang. Tetapi Claire tidak pernah memerhatikan kecantikannya. Ia jarang sekali merawat kulitnya dan wajahnya. Jangankan berdandan, berkaca saja pun ia lakukan hanya untuk mengeringkan rambut dan berpakaian. Tetapi tetap saja kulit dan wajahnya putih dan lembut.

Bisa kalian bilang, hidupnya penuh keajaiban dan keberuntungan, termasuk kejaiban dia bisa pergi ke Narnia.
 Itulah sekilas tentang Claire Whitney, di sini aku akan menceritakan suatu kisah yang masih menunjukkan bahwa di zaman ini masih ada orang yang bisa pergi ke Narnia.
 Dimulai dari sini. Siapa yang menyangka dari gedung bioskop ini Claire mengenal negeri khayalan yang kita sayangi, Narnia.

Kali ini rupanya Claire membuat suatu kesalahan pada Renata di bioskop itu. Claire dan Renata akan membeli tiket untuk menonton film pada hari ini, tanggal lima. Tapi bukannya jadwal film atau tiket film tujuan mereka yang mereka dapat, malah poster film itu bertuliskan ‘coming soon at 23’.

“Ya Tuhan!” Claire sangat terperanjat. “Aku minta maaf, Renata. Aku tidak tahu bahwa film itu ditayangkan tanggal dua puluh tiga,”

“Jadi kau tidak melihat tanggalnya?” Renata mendesah karena kesal.

Claire menggeleng minta maaf, “Aku benar-benar minta maaf, Re. Aku tidak tahu jika film itu belum ditayangkan,”

“Tapi kita sudah jauh-jauh ke sini!” Renata kesal.

“Aku minta maaf…” Claire melirih.

Renata masih tidak menjawab, wajahnya masih cemberut kesal.

“Emm, bagaimana jika kita menonton film yang lain? Aku yang akan membayar, asal kau tidak marah padaku,” Claire membujuk.

Renata masih diam.

“Re…”

“Oke. Baiklah,”

Claire tersenyum senang dan menarik tangan Renata mencari judul film lain yang akan mereka tonton. Tapi tiba-tiba mata Claire terpaku pada poster film di Studio lima.

“Claire…” panggil Renata melihat Claire terdiam.

Claire masih terpaku, terdiam.

“Claire, kau kenapa?”

“Aku rasa… film studio lima bagus,” kata Claire tiba-tiba.

Renata melihat judul film itu dan membacanya, “The Chronicles of Narnia. The Lion, the Witch, and the Wardrobe,”

“Aku ingin menonton ini,” kata Claire.

“Apa?” teriak Renata. “Kau serius?”

Claire mengangguk, “Ya. Memang kenapa?”

”Claire?! Sejak kapan kau suka film binatang? Posternya saja gambar singa! Aku berani bertaruh waktu setengah film ini diputar, kau akan minta keluar dari studio!”

“Ayolah, aku ingin coba menontonnya,” Claire membujuk.

“Tapi…” Renata berpikir. “Terserah kau saja,” Renata mengalah, bagaimana pun Claire yang membayar, jadi Renata tidak mempunyai hak untuk melarang sahabatnya. “Aku tidak tahu film mana yang bagus bulan ini,”

Jadi mereka membeli tiket film The Chronicles of Narnia. Dan untuk menghabiskan waktu menunggu film main, mereka jalan-jalan dulu di sekitar bioskop itu.

“Kau kenapa, Claire? Filmnya masih lama,” kata Renata yang melihat Claire berulang kali melihat jam.

“Aku… aku tidak tahu. Aku hanya ingin cepat menonton film itu,” balas Claire.

“Memangnya kau sudah melihat iklan film Narnia sehingga kau bisa mengatakan film itu bagus?” tanya Renata.

Claire menggeleng, “Belum. Tapi aku rasa…”

“Lalu dari mana kau mendapat pikiran bahwa film itu bagus? Kau baru sekali melihat posternya, apalagi gambarnya singa dan penyihir! Film itu kurasa film fantasi! Dan aku tidak suka film fantasi, begitu juga dengan kau,” Renata memotong.

“Tapi aku ingin menonton film ini,” kata Claire.

“Cukup! Kau sangat membingungkan hari ini,” kata Renata.

“Oh, Re! Apakah kau tidak merasa bahwa waktu lama sekali berjalan kali ini?” tanya Claire.

“Tidak,” jawab Renata. “Sudahlah! Jangan membicarakan itu terus-menerus. Lagipula, kita pasti akan menontonnya,”

“Kurasa kau tidak tertarik pada film ini,” Claire menebak.

“Tentu saja, bukankah kau tahu dari dulu aku tidak suka dengan film binatang,” jawab Renata. “Dan kukira, kau juga tidak suka dengan film ini. Binatang peliharaan saja kau tidak punya, bahkan kau sempat alergi dengan anjing,”

Claire tidak menjawab.

“Benar, kan? Kau tidak suka film binatang atau fantasi?” tanya Renata.

“Mmmh…” Claire tidak bisa menjawab.

“Sudahlah! Keinginanmu terkabul,” kata Renata melihat jam tangannya. “Film kesayanganmu akan mulai,” kata Renata sambil bangkit dari tempat duduknya menuju studio lima.

“Renata, tunggu!” Claire menyusul Renata.

Setelah menyerahkan tiket, mereka memasuki studio film itu, tangan Claire memegang erat lengan Renata.

“Dingin sekali,” kata Claire memegang lengan Renata.

“Cukup! Bukankah kau sudah terbiasa dinginnya studio bioskop?” Renata kesal menepis tangan Claire dari lengannya.

Setelah mendapatkan tempat duduk di dalam bioskop, Renata beberapa kali menatap wajah Claire. Film dimulai.

“Apa itu? Kurasa posternya tadi gambar singa, tapi kenapa awal ceritanya perang dunia?! Sebenarnya ini film binatang atau film perang?” Renata meremehkan ketika melihat prolog film itu. “Oh, aku tidak mengerti,”

“Tidak bisakah kau diam sebentar saja, Renata?” tanya Claire sedikit kesal.

Ada yang aneh dengan Claire, apa ada ini? Sikapnya yang banyak omong itu telah berubah sejak dia melihat poster film Narnia, dan itu baru satu jam yang lalu. Renata sangat kesal.

Film terus-menerus berjalan, Renata sangat tidak menikmati film itu. Menurutnya sangat aneh menemukan dunia ajaib dalam lemari, sebenarnya Renata ingin berkomentar lagi, tetapi takut dengan Claire. Petualangan-petualangannya sebenarnya lumayan bagus. Tapi… tetap saja Renata pikir itu membosankan!

“We come to see Aslan,” kata Peter.

Centaurus itu menengok ke arah tenda, dan keluarlah yang selama ini mereka cari dan mereka tunggui. Aslan, singa agung keemasan, begitu gagah, begitu kuat. Membuat seluruh Narnia tunduk kepadanya.

“Ya Tuhan…” lirih Claire pelan. “Belum pernah aku melihat singa seagung Aslan. Bukan begitu, Renata?”

Claire mendengus kesal ketika melihat Renata sudah tertidur. Menit-menit berikutnya Claire sangat serius menikmati film Narnia. Mulai dari adegan Aslan dibunuh oleh si penyihir putih di meja batu, tiba-tiba Claire menangis tidak tahu kenapa. Apalagi saat adegan perang Peter melawan Penyihir Putih, kakinya menjadi bergidik, seolah Claire ada di posisi Peter. Menit terakhir, saat film akan selesai terdapat adegan saat anak-anak Pevensie keluar dari lemari, Claire menyayangkan hal tersebut.

“You can’t go to there again, Lucy,” kata Profesor Kirke.

Lucy menengok, “Why?”

“Because you can go, if you won’t go to Narnia,”

“How can you know?”

“Because I was tried before,”

Claire mulai menitikkan air mata saat adegan terakhir dari film itu, petualangan yang sangat hebat. Menurutnya, film ini adalah film yang terhebat yang pernah ia tonton.

“Hei… kenapa kau?” Renata yang sudah terbangun dari tidurnya, pas sekali ketika film selesai.

Claire mengusap air matanya dan bangkit keluar dari studio, Renata menyusulnya.

“Ada apa denganmu? Kenapa kau menangis? Tidak biasanya kau menangis menonton film, bahkan film ‘Titanic’ atau ‘Romeo dan Juliet’ sekalipun. Mengapa kali ini kau bisa menangis hanya karena film fantasi seperti ini?” tanya Renata.

“Aku tidak tahu, Renata. Apakah kau bisa bayangkan jika suatu saat kau menemukan dunia ajaib seperti Narnia…”

Renata memotong, “Kau seperti anak kecil, Claire,”

“Jika kau menemukan dunia ajaib seperti Narnia, kau melakukan perang pembebasan dan akhirnya kau menjadi Ratu di negeri itu, tapi tiba-tiba… kita kembali ke dunia kita seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Bagaimana rasanya? Kita sudah melakukan hal terhebat di suatu negeri dan ketika kembali kita seolah tidak pernah terjadi apa-apa,” jelas Claire.

“Dari perkataanmu yang panjang tadi, lalu apa yang perlu ditangisi?” tanya Renata bingung.

Claire tidak menjawab karena memang sulit untuk dijawab, Claire menangis karena nalurinya ingin menangis. Dan itu sangat sulit diungkapkan.

Renata menyentuh bahu Claire, “Aku pikir… mungkin kau sudah mulai tertarik dengan dunia film?”

“Aku benar-benar memahami dan merasakan film ini, Re. Dan mungkin seumur hidupku, aku tidak akan melupakan film ini,” balas Claire.

“Kau terlalu berlebihan! Biasanya kau juga selalu mengatakan seperti itu jika sedang terobesesi sesuatu! Bisa saja sebentar lagi kau akan bosan,” kata Renata.

“Tidak! Aku memang sangat suka film ini!” Claire menjadi marah.

Renata lelah menanggapi semua omongan Claire, “Terserah kau saja! Sudahlah! Aku tidak tahu bahwa kau sekarang kau suka dengan film binatang! Apalagi kucing besar!”

“Jangan panggil Aslan dengan sebutan kucing!!” bentak Claire.

“Hei!” Renata menjadi bingung. “Tenangkan dirimu, aku minta maaf telah menyebut Aslan kucing. Baiklah, aku memperbaiki ucapanku, rupanya kau sekarang suka dengan singa,”

Claire kali ini benar-benar menangis, “Ternyata kau tidak mengerti aku benar-benar mencintai Narnia,”

Renata spontan tertawa lepas, “Kalau aku, aku mencintai si pemeran Peter yang tampan itu, mungkin aku akan mencari tahu segala sesuatu tentang pemeran Peter itu,”

“Renata! Cukup!” perasaan Claire campur aduk antara marah dan sedih karena temannya tidak mengerti dirinya.

“Apa hebatnya film itu sehingga bisa mempengaruhimu, Claire?” tanya Renata. “Mengapa kita bisa bertengkar hanya karena film itu?”

“Narnia sudah menjadi bagian hidupku,” kata Claire.

“Apa? Bagian hidupmu?” Renata sebenarnya ingin tertawa lagi lebih keras. “Kau baru mengenal Narnia tiga jam yang lalu dan bisa bicara bahwa Narnia menjadi bagian hidupmu? Lucu sekali,”

“Sekali lagi kau membuatku marah, anggap saja kita tidak saling kenal,” kata Claire tegas.

Renata rasanya kaget sekali mendengar ucapan Claire, tapi jika Renata membalas lagi perkataan Claire tadi, mungkin persahabatan mereka benar-benar bisa retak. Dan itu hanya disebabkan oleh sebuah film! Tidak, Renata tidak akan membiarkan kemarahan itu terjadi.

“Baik. Aku minta maaf, Claire,” akhirnya Renata memutuskan untuk mengalah.

Claire tersenyum, menandai bahwa mereka sudah berbaikan lagi.

“Re, kau mau menemaniku?” tanya Claire.

“Ke mana?”

“Ke Narnia…” jawab Claire.

Raut wajah Renata menunjukkan kecemasan lagi.

“Bukan, hanya bercanda. Ke toko buku, aku ingin membeli novel Narnia,”

“Apa? Toko buku? Kau tidak biasa pergi ke sana! Sejak kapan kau suka ke toko buku?” teriak Renata.

“Sejak saat ini,” jawab Claire.

“Aku muak!” kata Renata.

“Renata!” bentak Claire.

Renata menerawang ke atas menunjukkan dia sedang berpikir, dan akhirnya berkata dengan berat, “Baiklah, asal kau tidak marah lagi padaku,”

Renata merangkul bahu Claire dan mereka berjalan ke toko buku. Tidak biasanya Claire ke toko buku, baru sekali ini Renata menemani Claire ke toko buku.

“Claire, ini yang kau cari,” kata Renata. “The Chronicles of Narnia. Oleh C. S. Lewis,”

Renata melihat wajah Claire sangat cerah ketika melihat novel-novel Narnia, seperti anak-anak yang mendapat balon! Renata sangat muak melihatnya., tapi ditahannya perasaan itu.

“Ada tujuh seri, kau mau beli yang seri mana? Lebih baik kau membeli edisi The Lion, the Witch, and the Wardrobe. Ini yang tadi baru kita tonton,” tanya Renata.

“Tidak. Aku mau beli semuanya,” jawab Claire sambil mengambil satu paket novel Narnia.

“Semua?” mata Renata spontan membesar. “Kau membawa uang berapa? Tujuh novel Narnia ini cukup mahal!”

“Tidak apa-apa, paling-paling aku kehilangan uang saku selama dua minggu, tidak makan siang, dan pulang sekolah berjalan kaki, itu saja,” balas Claire.

“Tidak makan siang dan berjalan kaki pulang sekolah? Kita menghabiskan banyak waktu di sekolah! Dan jarak rumahmu dan sekolah cukup jauh! Kau gila, Claire! Pikirkan semua itu!” Renata menanggapi. “Apa tidak sebaiknya satu demi satu kau membeli novel itu?”

“Sudahlah, Renata! Aku tahu apa yang aku lakukan!” balas Claire.

“Ya. Kau tahu yang kau lakukan bisa membuat hidupmu menderita selama dua minggu,” kata Renata.

Claire mendengus kesal, “Sudahlah, lebih baik sekarang kita pulang,”

“Tunggu, aku ingin melihat bagian majalah dulu,” kata Renata, ya, tidak bisa dipungkiri, sebagaimana pun Renata membenci buku, tapi tidak untuk majalah.

“Renata, tolonglah. Aku ingin segera membaca semua novel ini,” kata Claire.

“Tapi…” Renata langsung terdiam melihat mata Claire. “Ya, baiklah. Kita pulang,” Renata melangkah menuju tempat pembayaran.

Renata menghela nafas dengan sedikit kesal. Setelah mengenal Narnia tiga jam yang lalu, Claire menjadi lebih egois. Memangnya apa yang hebat dengan film Narnia sampai Claire jadi begitu? Renata saja sampai ketiduran menontonnya. Nothing special for Renata.

Sebenarnya Claire juga merasa tidak enak pada Renata, “Re, maafkan aku jika hari ini aku terlalu egois,”

Claire selesai melakukan transaksi jual beli dan mereka melangkah pergi dari toko buku.

“Re… kau marah?” tanya Claire.

Renata hanya menoleh.

“Re… maafkan aku,” Claire melirih.

“Tidak apa-apa. Aku menyadari bahwa kau sudah jatuh cinta pada Narnia,” jawab Renata.

Claire menghentikan jalannya lalu menoleh pada Renata, Claire langsung merangkulnya.

“Oh, Re! Terima kasih! Kau memang temanku,”

Renata hanya membalas rangkulan Claire dengan senyum terpaksa, walaupun tentu saja sebenarnya Renata hanya ingin menyenangkan hati Claire.