Kamis, 27 Januari 2011

Perkenalan Narnia pada Putri Hawa


Kita tidak akan pergi dari Inggris, dimana dahulu sekitar tahun 1942 ada beberapa orang-orang yang berhasil pergi ke negeri khayalan kita yang indah, Narnia. Mereka adalah Paman Diggory, Bibi Polly, Peter, Edmund, Susan, Lucy, Eustace, dan Jill. Tentu saja jika kalian sudah membaca tujuh seri novel Narnia atau paling tidak ringkasan ceritanya, kalian akan mengerti bahwa Narnia sudah berakhir dan kini sudah lepas dari tanah bayang-bayang, dan Paman Diggory, Bibi Polly, Peter, Edmund, Lucy dan Jill sudah tinggal di sana selamanya karena di negeri kita mereka sudah mati. Sama seperti dunia kita pada saat dunia berakhir (kiamat), dan kita di alam lain. Abadi.
 Namun, meskipun Narnia sudah lepas dari tanah bayang-bayang dan telah menjadi Narnia seutuhnya, masih ada kisah yang menarik dan mungkin C. S. Lewis lupa untuk menulisnya. Kisah terakhir Narnia.

Kali ini kita akan pergi jauh dari kota Finchley untuk mengetahui kisah anak yang berhasil pergi ke Narnia, yaitu kota Bristol. Anak ini hidup di masa kini. Tetapi lebih tepatnya kisah ini ada pada setengah bulan lebih di tahun 2005 pada saat film The Chronicles of Narnia ‘The Lion, the Witch, and the Wardrobe’.

Claire Whitney, nama anak itu yang kira-kira baru berusia lima belas tahun, kira-kira sama dengan umur Raja Agung Peter ketika pertama kali pergi ke Narnia dulu. Anak yang sedang menikmati masa remaja ini sedang pergi menonton film bersama temannya di bioskop, Renata Kane.

Anak yang bernama Claire ini hanya mempunyai satu keburukan, yaitu jarang sekali membaca. Baginya, buku sangat membosankan. Misalnya saja novel, ia lebih suka menonton film yang diadaptasi dari novel itu daripada membaca novelnya. Apalagi novel yang tebalnya sudah tak terkira! Claire paling malas membacanya. Tetapi anehnya, anak ini sangat pintar dalam pelajaran. Dia tidak membaca buku itu, cukup memperhatikan dan… langsung bisa mengerti pelajaran itu.

Soal penampilan, mungkin Claire termasuk perempuan yang beruntung karena mempunyai wajah yang amat cantik dan manis, dan berambut panjang berwarna pirang. Tetapi Claire tidak pernah memerhatikan kecantikannya. Ia jarang sekali merawat kulitnya dan wajahnya. Jangankan berdandan, berkaca saja pun ia lakukan hanya untuk mengeringkan rambut dan berpakaian. Tetapi tetap saja kulit dan wajahnya putih dan lembut.

Bisa kalian bilang, hidupnya penuh keajaiban dan keberuntungan, termasuk kejaiban dia bisa pergi ke Narnia.
 Itulah sekilas tentang Claire Whitney, di sini aku akan menceritakan suatu kisah yang masih menunjukkan bahwa di zaman ini masih ada orang yang bisa pergi ke Narnia.
 Dimulai dari sini. Siapa yang menyangka dari gedung bioskop ini Claire mengenal negeri khayalan yang kita sayangi, Narnia.

Kali ini rupanya Claire membuat suatu kesalahan pada Renata di bioskop itu. Claire dan Renata akan membeli tiket untuk menonton film pada hari ini, tanggal lima. Tapi bukannya jadwal film atau tiket film tujuan mereka yang mereka dapat, malah poster film itu bertuliskan ‘coming soon at 23’.

“Ya Tuhan!” Claire sangat terperanjat. “Aku minta maaf, Renata. Aku tidak tahu bahwa film itu ditayangkan tanggal dua puluh tiga,”

“Jadi kau tidak melihat tanggalnya?” Renata mendesah karena kesal.

Claire menggeleng minta maaf, “Aku benar-benar minta maaf, Re. Aku tidak tahu jika film itu belum ditayangkan,”

“Tapi kita sudah jauh-jauh ke sini!” Renata kesal.

“Aku minta maaf…” Claire melirih.

Renata masih tidak menjawab, wajahnya masih cemberut kesal.

“Emm, bagaimana jika kita menonton film yang lain? Aku yang akan membayar, asal kau tidak marah padaku,” Claire membujuk.

Renata masih diam.

“Re…”

“Oke. Baiklah,”

Claire tersenyum senang dan menarik tangan Renata mencari judul film lain yang akan mereka tonton. Tapi tiba-tiba mata Claire terpaku pada poster film di Studio lima.

“Claire…” panggil Renata melihat Claire terdiam.

Claire masih terpaku, terdiam.

“Claire, kau kenapa?”

“Aku rasa… film studio lima bagus,” kata Claire tiba-tiba.

Renata melihat judul film itu dan membacanya, “The Chronicles of Narnia. The Lion, the Witch, and the Wardrobe,”

“Aku ingin menonton ini,” kata Claire.

“Apa?” teriak Renata. “Kau serius?”

Claire mengangguk, “Ya. Memang kenapa?”

”Claire?! Sejak kapan kau suka film binatang? Posternya saja gambar singa! Aku berani bertaruh waktu setengah film ini diputar, kau akan minta keluar dari studio!”

“Ayolah, aku ingin coba menontonnya,” Claire membujuk.

“Tapi…” Renata berpikir. “Terserah kau saja,” Renata mengalah, bagaimana pun Claire yang membayar, jadi Renata tidak mempunyai hak untuk melarang sahabatnya. “Aku tidak tahu film mana yang bagus bulan ini,”

Jadi mereka membeli tiket film The Chronicles of Narnia. Dan untuk menghabiskan waktu menunggu film main, mereka jalan-jalan dulu di sekitar bioskop itu.

“Kau kenapa, Claire? Filmnya masih lama,” kata Renata yang melihat Claire berulang kali melihat jam.

“Aku… aku tidak tahu. Aku hanya ingin cepat menonton film itu,” balas Claire.

“Memangnya kau sudah melihat iklan film Narnia sehingga kau bisa mengatakan film itu bagus?” tanya Renata.

Claire menggeleng, “Belum. Tapi aku rasa…”

“Lalu dari mana kau mendapat pikiran bahwa film itu bagus? Kau baru sekali melihat posternya, apalagi gambarnya singa dan penyihir! Film itu kurasa film fantasi! Dan aku tidak suka film fantasi, begitu juga dengan kau,” Renata memotong.

“Tapi aku ingin menonton film ini,” kata Claire.

“Cukup! Kau sangat membingungkan hari ini,” kata Renata.

“Oh, Re! Apakah kau tidak merasa bahwa waktu lama sekali berjalan kali ini?” tanya Claire.

“Tidak,” jawab Renata. “Sudahlah! Jangan membicarakan itu terus-menerus. Lagipula, kita pasti akan menontonnya,”

“Kurasa kau tidak tertarik pada film ini,” Claire menebak.

“Tentu saja, bukankah kau tahu dari dulu aku tidak suka dengan film binatang,” jawab Renata. “Dan kukira, kau juga tidak suka dengan film ini. Binatang peliharaan saja kau tidak punya, bahkan kau sempat alergi dengan anjing,”

Claire tidak menjawab.

“Benar, kan? Kau tidak suka film binatang atau fantasi?” tanya Renata.

“Mmmh…” Claire tidak bisa menjawab.

“Sudahlah! Keinginanmu terkabul,” kata Renata melihat jam tangannya. “Film kesayanganmu akan mulai,” kata Renata sambil bangkit dari tempat duduknya menuju studio lima.

“Renata, tunggu!” Claire menyusul Renata.

Setelah menyerahkan tiket, mereka memasuki studio film itu, tangan Claire memegang erat lengan Renata.

“Dingin sekali,” kata Claire memegang lengan Renata.

“Cukup! Bukankah kau sudah terbiasa dinginnya studio bioskop?” Renata kesal menepis tangan Claire dari lengannya.

Setelah mendapatkan tempat duduk di dalam bioskop, Renata beberapa kali menatap wajah Claire. Film dimulai.

“Apa itu? Kurasa posternya tadi gambar singa, tapi kenapa awal ceritanya perang dunia?! Sebenarnya ini film binatang atau film perang?” Renata meremehkan ketika melihat prolog film itu. “Oh, aku tidak mengerti,”

“Tidak bisakah kau diam sebentar saja, Renata?” tanya Claire sedikit kesal.

Ada yang aneh dengan Claire, apa ada ini? Sikapnya yang banyak omong itu telah berubah sejak dia melihat poster film Narnia, dan itu baru satu jam yang lalu. Renata sangat kesal.

Film terus-menerus berjalan, Renata sangat tidak menikmati film itu. Menurutnya sangat aneh menemukan dunia ajaib dalam lemari, sebenarnya Renata ingin berkomentar lagi, tetapi takut dengan Claire. Petualangan-petualangannya sebenarnya lumayan bagus. Tapi… tetap saja Renata pikir itu membosankan!

“We come to see Aslan,” kata Peter.

Centaurus itu menengok ke arah tenda, dan keluarlah yang selama ini mereka cari dan mereka tunggui. Aslan, singa agung keemasan, begitu gagah, begitu kuat. Membuat seluruh Narnia tunduk kepadanya.

“Ya Tuhan…” lirih Claire pelan. “Belum pernah aku melihat singa seagung Aslan. Bukan begitu, Renata?”

Claire mendengus kesal ketika melihat Renata sudah tertidur. Menit-menit berikutnya Claire sangat serius menikmati film Narnia. Mulai dari adegan Aslan dibunuh oleh si penyihir putih di meja batu, tiba-tiba Claire menangis tidak tahu kenapa. Apalagi saat adegan perang Peter melawan Penyihir Putih, kakinya menjadi bergidik, seolah Claire ada di posisi Peter. Menit terakhir, saat film akan selesai terdapat adegan saat anak-anak Pevensie keluar dari lemari, Claire menyayangkan hal tersebut.

“You can’t go to there again, Lucy,” kata Profesor Kirke.

Lucy menengok, “Why?”

“Because you can go, if you won’t go to Narnia,”

“How can you know?”

“Because I was tried before,”

Claire mulai menitikkan air mata saat adegan terakhir dari film itu, petualangan yang sangat hebat. Menurutnya, film ini adalah film yang terhebat yang pernah ia tonton.

“Hei… kenapa kau?” Renata yang sudah terbangun dari tidurnya, pas sekali ketika film selesai.

Claire mengusap air matanya dan bangkit keluar dari studio, Renata menyusulnya.

“Ada apa denganmu? Kenapa kau menangis? Tidak biasanya kau menangis menonton film, bahkan film ‘Titanic’ atau ‘Romeo dan Juliet’ sekalipun. Mengapa kali ini kau bisa menangis hanya karena film fantasi seperti ini?” tanya Renata.

“Aku tidak tahu, Renata. Apakah kau bisa bayangkan jika suatu saat kau menemukan dunia ajaib seperti Narnia…”

Renata memotong, “Kau seperti anak kecil, Claire,”

“Jika kau menemukan dunia ajaib seperti Narnia, kau melakukan perang pembebasan dan akhirnya kau menjadi Ratu di negeri itu, tapi tiba-tiba… kita kembali ke dunia kita seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Bagaimana rasanya? Kita sudah melakukan hal terhebat di suatu negeri dan ketika kembali kita seolah tidak pernah terjadi apa-apa,” jelas Claire.

“Dari perkataanmu yang panjang tadi, lalu apa yang perlu ditangisi?” tanya Renata bingung.

Claire tidak menjawab karena memang sulit untuk dijawab, Claire menangis karena nalurinya ingin menangis. Dan itu sangat sulit diungkapkan.

Renata menyentuh bahu Claire, “Aku pikir… mungkin kau sudah mulai tertarik dengan dunia film?”

“Aku benar-benar memahami dan merasakan film ini, Re. Dan mungkin seumur hidupku, aku tidak akan melupakan film ini,” balas Claire.

“Kau terlalu berlebihan! Biasanya kau juga selalu mengatakan seperti itu jika sedang terobesesi sesuatu! Bisa saja sebentar lagi kau akan bosan,” kata Renata.

“Tidak! Aku memang sangat suka film ini!” Claire menjadi marah.

Renata lelah menanggapi semua omongan Claire, “Terserah kau saja! Sudahlah! Aku tidak tahu bahwa kau sekarang kau suka dengan film binatang! Apalagi kucing besar!”

“Jangan panggil Aslan dengan sebutan kucing!!” bentak Claire.

“Hei!” Renata menjadi bingung. “Tenangkan dirimu, aku minta maaf telah menyebut Aslan kucing. Baiklah, aku memperbaiki ucapanku, rupanya kau sekarang suka dengan singa,”

Claire kali ini benar-benar menangis, “Ternyata kau tidak mengerti aku benar-benar mencintai Narnia,”

Renata spontan tertawa lepas, “Kalau aku, aku mencintai si pemeran Peter yang tampan itu, mungkin aku akan mencari tahu segala sesuatu tentang pemeran Peter itu,”

“Renata! Cukup!” perasaan Claire campur aduk antara marah dan sedih karena temannya tidak mengerti dirinya.

“Apa hebatnya film itu sehingga bisa mempengaruhimu, Claire?” tanya Renata. “Mengapa kita bisa bertengkar hanya karena film itu?”

“Narnia sudah menjadi bagian hidupku,” kata Claire.

“Apa? Bagian hidupmu?” Renata sebenarnya ingin tertawa lagi lebih keras. “Kau baru mengenal Narnia tiga jam yang lalu dan bisa bicara bahwa Narnia menjadi bagian hidupmu? Lucu sekali,”

“Sekali lagi kau membuatku marah, anggap saja kita tidak saling kenal,” kata Claire tegas.

Renata rasanya kaget sekali mendengar ucapan Claire, tapi jika Renata membalas lagi perkataan Claire tadi, mungkin persahabatan mereka benar-benar bisa retak. Dan itu hanya disebabkan oleh sebuah film! Tidak, Renata tidak akan membiarkan kemarahan itu terjadi.

“Baik. Aku minta maaf, Claire,” akhirnya Renata memutuskan untuk mengalah.

Claire tersenyum, menandai bahwa mereka sudah berbaikan lagi.

“Re, kau mau menemaniku?” tanya Claire.

“Ke mana?”

“Ke Narnia…” jawab Claire.

Raut wajah Renata menunjukkan kecemasan lagi.

“Bukan, hanya bercanda. Ke toko buku, aku ingin membeli novel Narnia,”

“Apa? Toko buku? Kau tidak biasa pergi ke sana! Sejak kapan kau suka ke toko buku?” teriak Renata.

“Sejak saat ini,” jawab Claire.

“Aku muak!” kata Renata.

“Renata!” bentak Claire.

Renata menerawang ke atas menunjukkan dia sedang berpikir, dan akhirnya berkata dengan berat, “Baiklah, asal kau tidak marah lagi padaku,”

Renata merangkul bahu Claire dan mereka berjalan ke toko buku. Tidak biasanya Claire ke toko buku, baru sekali ini Renata menemani Claire ke toko buku.

“Claire, ini yang kau cari,” kata Renata. “The Chronicles of Narnia. Oleh C. S. Lewis,”

Renata melihat wajah Claire sangat cerah ketika melihat novel-novel Narnia, seperti anak-anak yang mendapat balon! Renata sangat muak melihatnya., tapi ditahannya perasaan itu.

“Ada tujuh seri, kau mau beli yang seri mana? Lebih baik kau membeli edisi The Lion, the Witch, and the Wardrobe. Ini yang tadi baru kita tonton,” tanya Renata.

“Tidak. Aku mau beli semuanya,” jawab Claire sambil mengambil satu paket novel Narnia.

“Semua?” mata Renata spontan membesar. “Kau membawa uang berapa? Tujuh novel Narnia ini cukup mahal!”

“Tidak apa-apa, paling-paling aku kehilangan uang saku selama dua minggu, tidak makan siang, dan pulang sekolah berjalan kaki, itu saja,” balas Claire.

“Tidak makan siang dan berjalan kaki pulang sekolah? Kita menghabiskan banyak waktu di sekolah! Dan jarak rumahmu dan sekolah cukup jauh! Kau gila, Claire! Pikirkan semua itu!” Renata menanggapi. “Apa tidak sebaiknya satu demi satu kau membeli novel itu?”

“Sudahlah, Renata! Aku tahu apa yang aku lakukan!” balas Claire.

“Ya. Kau tahu yang kau lakukan bisa membuat hidupmu menderita selama dua minggu,” kata Renata.

Claire mendengus kesal, “Sudahlah, lebih baik sekarang kita pulang,”

“Tunggu, aku ingin melihat bagian majalah dulu,” kata Renata, ya, tidak bisa dipungkiri, sebagaimana pun Renata membenci buku, tapi tidak untuk majalah.

“Renata, tolonglah. Aku ingin segera membaca semua novel ini,” kata Claire.

“Tapi…” Renata langsung terdiam melihat mata Claire. “Ya, baiklah. Kita pulang,” Renata melangkah menuju tempat pembayaran.

Renata menghela nafas dengan sedikit kesal. Setelah mengenal Narnia tiga jam yang lalu, Claire menjadi lebih egois. Memangnya apa yang hebat dengan film Narnia sampai Claire jadi begitu? Renata saja sampai ketiduran menontonnya. Nothing special for Renata.

Sebenarnya Claire juga merasa tidak enak pada Renata, “Re, maafkan aku jika hari ini aku terlalu egois,”

Claire selesai melakukan transaksi jual beli dan mereka melangkah pergi dari toko buku.

“Re… kau marah?” tanya Claire.

Renata hanya menoleh.

“Re… maafkan aku,” Claire melirih.

“Tidak apa-apa. Aku menyadari bahwa kau sudah jatuh cinta pada Narnia,” jawab Renata.

Claire menghentikan jalannya lalu menoleh pada Renata, Claire langsung merangkulnya.

“Oh, Re! Terima kasih! Kau memang temanku,”

Renata hanya membalas rangkulan Claire dengan senyum terpaksa, walaupun tentu saja sebenarnya Renata hanya ingin menyenangkan hati Claire.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar